OPINI : "Kita Semua memang Munafik"
Putu Wijaya, Budayawan
PULANG dari mudik Lebaran, dalam kereta saya duduk bersebelahan dengan seorang pria yang selintas tampak seperti pegawai negeri yang cuek.
Kemudian saya mengubah kesan saya itu, karena ia lebih mirip dengan seorang dai. Beberapa lama kemudian, dia terasa seperti seorang eksekutif. Tetapi setelah berbicara beberapa jurus, semua dugaan saya salah. Orang itu insinyur lulusan ITB yang membuat pesawat terbang tanpa awak. ”Sekarang kami lebih mengkhususkan untuk membuat peralatan senjata kapal udara untuk militer,” katanya dengan nada biasa-biasa saja, sehingga saya merasa bertambah malu lagi, karena sempat menilai dia rendah.
Sepanjang perjalanan Bandung-Jakarta, saya terus bertanya-tanya. Kantuk saya kontan hilang, tak percaya apa yang sudah dilakukan bujangan usia 30 tahun itu bersama kelompoknya. Kemampuannya untuk membuat pesawat tanpa awak yang diperlengkapi dengan kamera, dapat dipakai untuk pemetaan dan pengawasan lingkungan yang amat berguna untuk pengintaian dalam perang. Harganya, kalaupun ditambah dengan komisi, menurut dia masih separuhnya dari produk yang dipesan dari mancanegara. Tampak sangat potensial, tetapi mengapa pemuda itu tidak menjadi kaya raya? Ia bahkan mengaku merasa sudah cukup nyaman, kalau kelompoknya bisa mengantongi tiga juta setiap orang per bulan. Jumlah yang sangat kecil dan menghina kecerdasan, kalau dibandingkan dengan kontrak seorang pemain sinetron top yang untuk satu episode (sekitar 7 hari kerja) saja, sudah bisa mendikte produser untuk membayarnya sampai Rp60 juta.
Pemuda itu mengaku bahwa dari Malaysia sudah ada yang sempat melirik dan menawari teman-temannya bekerja dengan imbalan yang sangat menggiurkan.
Sementara di dalam negeri pun, salah seorang temannya sudah menjadi bos sebuah perusahaan swasta di daerah dengan gaji Rp15 juta. Toh, dia dan kawan-kawan masih tetap setia menekuni pekerjaannya dengan imbalan hanya sekitar dua juta rupiah di akhir bulan. Ia mengaku sadar hingga sering menertawai dirinya sendiri. “Kami memang orang-orang gila. Teman-teman saya memang sepertiseniman. Bekerja tergantung perasaan. Kalau sedang senang, ngebut, tapi kalau lagi malas, ditinggal begitu saja, sehingga kadangkala merepotkan langganan yang sudah menguber-uber,” katanya sambil tertawa.
Ketika saya tanya, apa kira-kira alasan pelanggan, kenapa mereka tidak langsung merekrut dan memberikannya pekerjaan yang layak, jawabannya mengejutkan. “Ya, mereka bagaimanapun juga, sangat mengutamakan sukses demi jabatannya. Untuk itu, memang lebih terjamin untuk membeli produk dari mancanegara yang sudah punya nama, sedangkan kami kan masih dalam proses pengembangan. Meskipun kami punya potensi dan prospek bagus, mungkin dirasa tidak cocok dengan target sukses yang mereka kejar.
Saya terpesona. Kalau betul begitu, alangkah besarnya kerugian negara, sebab pejabat lebih mengutamakan karier pribadinya. Mereka tidak peduli apa yang akan terjadi sesudah itu. Prek dengan masa depan Indonesia, peduli amat pejabat belakangan yang menggantikannya.
Keluar dari Gambir, di kepala saya ada pahlawan baru. Jadi tak benar semua anak-anak muda sudah tergiur oleh uang dan tersulap menjadi hamba kapitalis. Masih ada yang memiliki idealisme kental bukan karena tolol, tapi karena memang merasa nikmat menertawai dirinya. Orang-orang itu nyaris tak kelihatan, karena tak dipublikasikan oleh media massa yang lebih tertarik menyuap pembaca dengan sensasi karena memang itu yang laku.
Sudah waktunya kini kita bergerak memburu pahlawan-pahlawan yang tidak kelihatan itu. Mengenalkan kepada masyarakat dan menjadikannya selebriti. Mereka seribu kali lebih layak menjadi sorotan layar kaca.
Sampai di rumah, saya ceritakan semua itu kepada istri saya. Dengan bangga saya tunjukkan masih banyak harapan. Biarlah orang jahat makin edan, selama masih ada orang-orang muda yang militan, Indonesia akan tertolong.
Para pahlawan baru itu harus diburu, digembar-gemborkan, agar merebut perhatian masyarakat.
“Apa kamu sudah menceritakan kepadanya ada bintang sinetron yang
dibayar 60 juta untuk satu episode?” potong istri saya. “Tentu saja tidak.”. “Kenapa?” “Karena aku tidak sedang menceritakan sesuatu, tetapi justru bertanya. Aku lebih banyak memancing Aku tidak ingin nanti dia terganggu oleh ceritaku dan merasa dirinya kecil sekali karena hanya bercita-cita punya Rp3 juta, dua puluh kali lebih kecil dari gaji seorang bintang sinetron, padahal dia aset negara. Aku tak ingin ia menjadi kecewa pada apa yang sudah dilakukannya, apalagi kemudian berhenti mendadak. Siapa tahu bunuh diri. Nanti aku akan kehilangan pahlawan lagi.” Istri saya tidak menanyakan apa-apa lagi, lantas pergi arisan.
Saya jadi terdiam. Apa yang saya katakan tadi seperti berdengung kembali ke telinga saya. Apa saya sudah salah? Saya bayangkan kembali diri saya berada di atas kereta itu. Lalu menceritakan apa yang belum sempat saya ceritakan. Menunjukkan kepada pemuda itu nasibnya yang sebenarnya. Bukan untuk mengubah, hanya sekedar menguji mentalnya. Apakah ia masih akan mau membuat pesawat pengintai, kalau mengetahui peta nasibnya sejelek itu.
Tapi saya punya keyakinan, dia akan tidak akan mengecewakan saya. Dia pasti benar-benar seorang pejuang. Dia tidak akan goyah karena miskin, idealismenya akan tetap menyala-nyala, walau pun orang lain berlimpahan rezeki. Dia akan setia pada pengabdiannya, meskipun nanti dia sudah berkeluarga. Karena dia pasti akan memilih teman hidup yang mengerti apa itu kemiskinan demi idealismenya.
Beberapa hari kemudian saya menerima telepon dari seorang anak saya. direktur utama sebuah perusahaan yang sedang naik daun. Setiap kali memutuskan sesuatu yang penting, dia selalu meminta masukan saya. Dan biasanya semuanya dilaksanakannya. 'Saya harus memilih dua kandidat direktur. Yang satu profesional tetapi otaknya hanya rata-rata dan yang satu lagi jenius tetapi agak nyeniman. Siapa yang sebaiknya saya
pilih?”.”Yang profesional!”
No comments:
Post a Comment