Krisis Subprime di Amerika Serikat
Oleh: Dahlan Iskan
CEO Jawa Pos
Meski saya bukan ekonom, banyak pembaca tetap minta saya 'menceritakan'
secara awam mengenai hebatnya krisis keuangan di AS saat ini. Seperti juga,
banyak pembaca tetap bertanya tentang sakit liver, meski mereka tahu saya
bukan dokter. Saya coba:
Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan direkturnya.
Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan labanya harus terus meningkat.
Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang,
sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.
Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para
pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi
dibanding waktu mereka beli dulu: untung.
Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual
saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian
banyak.
Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik,
terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau cara kucing putih,
terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut:
hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan
seterusnya.
Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan
dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi
kadang bisa rugi?
Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa
disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa? Pertama,
agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat
bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba dan
pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEO perusahaan
besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana
bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?
Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti
tumbu ketemu tutup: klop. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk
terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus
dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru.
Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain.
Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang
licik -dan kasar! Istilah populernya hostile take over.
Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk
bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat
jalan.
Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para
direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun.
Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik. Pemerintah
happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi happy karena
dapat dukungan atau sumber dana.
Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan
kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli
kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya.
Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.
Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidak
bisa bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia atau negara
lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS
yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia: USD 2
triliun!
Sudah lebih dari 60 tahun cara 'membesarkan' perusahaan seperti itu
dilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS
dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.
Tapi, itu belum cukup.
Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap tidak
cukup lagi: harus computerized!
Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat
harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah
harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga belum cukup.
Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi
perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat,
dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang
kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing
atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya.
Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli
rumah?
Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih
besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan
alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar?
Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset
bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin
besar?
Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 1980,
pemerintah bikin keputusan yang disebut 'Deregulasi Kontrol Moneter'.
Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat diperbolehkan
menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari
bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua
tahun kemudian.
Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan,
asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang
dimanfaatkan perbankan secara nyata.
Begini ceritanya:
Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam
undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan
memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR,
meski tidak sama).
Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil
mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan
karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.
Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang
terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai
naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat
orang yang bisa mendapat mortgage.
Dengan keluarnya 'jalan baru' pada 1980 itu, terbuka peluang untuk
menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank
bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para
broker dan bisnis lain yang terkait.
Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka,
ada lagi 'jalan baru' yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni,
tahun 1986.
Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya:
pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi
pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli
rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.
Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar
biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau
Denmark, gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua
keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga
terjamin.
Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis
menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang
disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung
menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus
meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.
Kata 'mortgage' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya:
matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage,
Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan
kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan
Anda belum lunas.
Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah
itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan
rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu
dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah
tersebut.
Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti Lehman
Brothers?
Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena
fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh 'para pelaku
bisnis keuangan' sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan
meningkatkan laba.
Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas
mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah.
Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.
Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik
rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage-kan lagi untuk membeli rumah
berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan
kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat
ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut
dalam memberi kredit rumah.
Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam
undang-undang perbankan yang keras.
Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan.
Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan 'bank jenis lain'
yang disebut investment banking.
Apakah investment banking itu bank?
Bukan. Ia perusahaan keuangan yang 'hanya mirip' bank. Ia lebih bebas
daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal:
menerima macam-macam 'deposito' dari para pemilik uang, meminjamkan uang,
meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli
rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa
lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan!
Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi adalah jenis investment
banking itu.
Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman
tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya
kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja:
kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada
orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah 'personal banking'.
Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yang
menawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana, saya
dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya saya tidak
sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.
Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu saya
serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitung angka
lebih cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada dasarnya dia tidak
menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow.
Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya
orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang
memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.
Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh
besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang
yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang
bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.
Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat
mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan
terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan
pengeluaran.
Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi,
pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari
mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita,
bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak
pernah dipikirkan jangka panjangnya.
Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari
10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita
sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang
jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan
rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak
yang gagal bayar.
Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan
rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain
itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang
beriktunya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu
domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.
Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum
ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar.
Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar,
memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan
masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?
Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau
menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak
USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara
Indonesia dijadikan satu.
Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan
rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang
Indonesia yang 'menabung'-kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking
yang kini lagi pada kesulitan itu.
Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak
banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura,
Hongkong, atau Tiongkok.
Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi
salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan
Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun,
yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara
besar-besaran ke sana. Kita, setidaknya, masih bisa menanam jagung.
+/- Read More | Selanjutnya